Senja kian menutupi mentari yang
mulai beranjak pergi. Perlahan namun pasti biasnya musnah, tertelan langit
senja yang nampak kuning orange tak jelas. Terkadang sesuatu terlihat indah,
namun nyatanya keindahan itu hanyalah topeng. Palsu dan penuh kepura-puraan,
seperti hidup. Hidup bagai roda yang berputar, hidup itu siklus sebab akibat.
Tak mudah untuk dijalani namun tak sulit apabila mau berusaha. Milli, sosok
anak lucu yang hidup penuh sandiwara. Terlihat selalu tersenyum bahagia, ceria
dan penuh canda tawa. Siapa sangka hidupnya penuh derita dan problema.
“
Milli, cepat mandi” suara Ibu membuyarkan lamunanku tentang mimpi-mimpi masa
depan. Ibuku memang cerewet, namun lebih dari itu. Ibu wanita sempurna, penuh
cinta dan kasih sayang. Perempuan hebat yang penuh semangat dalam menjalani
setiap takdir Tuhan. “ Iya bu, sebentar lagi. Masih beres-beres buku”, ucapku
sekenanya saja. Sore itu sangat melelahkan, berangkat pukul 7 pagi dan harus
pulang pukul 4 sore. Setiap hari terus menerus seperti itu, sedikit membosankan
memang. Namun harus tetap dijalankan rutinitas sehari-hari, sebagai langkah
awal mewujudkan mimpi, semoga .
Detik
serasa bergulir begitu cepat, sisa-sisa tetes hujan semalam masih terlihat.
Embun pagi menyulap jalanan depan rumah yang hampa, terlihat begitu nyaman.
Apalagi sang surya menyemburkan sinarnya yang elok nan hangat. “ Hooaammmmmm,
ngantuk” celotehku tak karuan. Adzan Subuh berkumandang, menghentikan sejenak
mimpi-mimpi yang tengah kurangkai. Entah mengapa, dalam lelap aku senantiasa
membayangkan apapun yang ku ingin. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa
mimpi hanyalah bunga tidur, tidak bagiku. Mimpi tak hanya sekedar bunga tidur,
dalam kondisi tak sadar tentu mimpiku sangat sinkron dengan harap dan
imajinasi. Tiap mimpiku, ku anggap sebagai penyemangat. Terutama akhir-akhir
ini aku selalu bermimpi bertemu dengan Ayah. Sosok lelaki kharismatik yang
sangat ku sayang. Ayahku, pemimpin keluarga yang sangat ku segani.
Berawal sekitar tiga tahun yang
lalu, aku sangat terkejut. Tak hanya aku, tetangga dan sanak-saudara pun sama.
Ayah terlihat seperti biasanya, berangkat mengais rejeki untukku dan Ibu mulai
pukul 05:30 hingga pukul 21:00 bahkan terkadang tengah malam baru pulang.
Beberapa hari terakhir memang wajahnya tampak lusuh dan tak secerah biasanya,
tapi Ayah tak pernah menunjukkan gelagat bahwa dirinya tengah sakit. Namun pagi
itu, sedikit aneh memang. Tiba-tiba Ayah mengerang kesakitan, sangat sakit
hingga tak mampu bangun dari tempat tidur, semua panik termasuk aku. Ibu
memanggil bu Bidan untuk memeriksa Ayah, hasil pemeriksaannya sangat
menyakitkan bagi keluargaku. Ternyata Ayah mengidap penyakit liver akut, yang
kini sudah sangat parah. Air mataku mengalir deras, tak terbendung. Masih
terngiang dalam ingatan, betapa kondisinya baik-baik saja, tapi kini dia
terbaring lemah. Tanpa pikir panjang, keluarga berinisiatif untuk membawanya ke
rumah sakit. Lagi-lagi aku menitikkan air mata, bukan karena penyakit Ayah namun
perkataanya. Dalam kondisi seperti ini, dia masih memikirkan aku dan Ibu. Rasa
tanggung jawab yang begitu besar tersemat dalam dirinya, dia tidak mau dibawa
ke rumah sakit karena menurutnya uang untuk biaya pengobatan lebih baik untuk
biaya makan dan sekolahku. Ya Tuhan, seketika tubuh ini lemas.
Mobil yang membawa Ayah ke rumah
sakit melaju, semakin hilang tak terlihat. Hatiku rasanya tak karuan, ingin
rasanya diriku menemani sosok pemimpin yang paling ku sayang itu. Namun apalah
daya, ada nenek dan kakek membutuhkanku di rumah. Selang beberapa jam, telepon
genggamku berdering. Di layar tertera nomor Paman, hati semakin tak karuan.
Takut, khawatir dan panik tentu saja. “Hallo assalamualaikum Paman, bagaimana
kondisi Ayah ?” ucapku sedikit terbata-bata. Suara diseberang terdengar berat
dan diiringi isak tangis, “Kamu minta anterin Kak Hindra ke rumah sakit ya,
Ayahmu tak sadarkan diri, sekarang di ruang ICU”. Semakin berat saja kaki ini,
aku terpukul mendengarnya, ya Tuhan selamatkan Ayahku.
Sesampai di rumah sakit, dari balik
kaca kamar dimana Ayah dirawat aku menatapnya lekat. Mata Ayah menutup, hanya
ada banyak rangkaian selang-selang tertancap di tubuh tambunnya. Aku sendiri
tak tahu, mengapa Ayahku seperti robot ? membutuhkan alat untuk berfungsi. “Lihat
aku Ayah, Milli sayang Ayah. Ayah harus bangun, harus sembuh supaya kita bisa
bertengkar lagi”, gumamku dalam hati. Aku lupa, dimana Ibu ? bagaimana
keadaannya sekarang ? ya Tuhan. Mengapa semua ini bisa terjadi begitu cepat.
Tuhan, kemanakah dirimu ? Ayah disini terkapar, tak mampu bergerak. Cobaan yang
Engkau berikan terlalu berat untuk kupikul. Tuhan kemanakah dirimu ?
Menerawang jauh tak terbatas,
seketika senyum Ayah tersungging manis. Terkadang ia menyemburkan ejekan lucu
pada Ibu, lalu Ibu pun membalasnya dengan pukulan yang penuh cinta, sungguh
romantis. Ibuku memang tak begitu cantik, namun berkulit putih, memiliki kaki
jenjang dan tinggi semampai layaknya model. Dengan tinggi sekitar 170 cm atau
bahkan lebih, ia terlihat jauh lebih tinggi daripada Ayah. Mungkin postur
sempurnanyalah yang mampu meluluhkan Ayah yang secara sepintas mirip penyanyi
lawas Imam S. Arifin. Hihihi, aku terkekeh melihat wajah mereka berdua yang
polos. Namun jauh di lubuk hati, aku akui bahwa jika dilihat dari segi fisik
Ibu memang beruntung memiliki Ayah. Betapa tidak ? jika aku bukan anaknya dan
seleraku para om-om tua mungkin sudah ku pacari Ayahku itu, hihihi.
Hilang, lenyap, musnah seketika.
Hentakan kaki yang terdengar begitu keras seperti suara kuda tengah bertanding.
Seorang dokter dan tiga suster berlarian hingga membuyarkan anganku tentang
betapa bahagianya keluargaku, tentunya sebelum cobaan ini diberikan Tuhan
untukku. Aku tak peduli dengan keriuhan akibat ulah mereka. Namun setelah ku
tengok mereka menuju ruangan Ayahku terbaring tak berdaya, ditambah lagi Ibu
memberitahuku bahwa Ayah sudah siuman mau tak mau memaksaku bangkit dari tempat
dudukku. Ya Tuhan, terima kasih. Engkau telah mendengarkan pintaku, Engkau Maha
Mengetahui segalanya, maka aku mohon Tuhan sembuhkanlah Ayahku. Tanpa basa-basi
aku bergegas bangkit dan berlari menuju ruangan Ayah. Hatiku bergetar hebat,
sangat tak menentu ketika melihat senyum Ayah yang khas dengan kumis tebalnya
yang sedikit terangkat. Tuhan terima kasih.
Kebahagiaan yang begitu berharga
adalah berkumpul bersama keluarga. Berkah dari Tuhan yang terbesar adalah
kesehatan. Maka bersua dan bercengkrama dengan keluarga dalam kondisi sehat
adalah anugerah terindah dari Tuhan. Lebih dari apapun, kebersamaan ini sangat
meyenangkan. Beberapa hari yang lalu Ayah tak sadarkan diri, namun kini telah
berangsur membaik. Tak pernah ketinggalan lelucon dan bau kentutnya yang
lumayan busuk bahkan lebih busuk dari bangkai tikus kian menambah keriuhan.
Suasana yang kemarin tegang, penuh tangis dan rintihan kini tergantikan dengan
mimik cerah dan wajah penuh syukur. Ibuku dapat kembali tersenyum, walau gurat
kekhawatiran masih terpancar dari wajah ayunya. Tuhan terima kasih.
Jangan terlalu terlena dengan
kebahagiaan. Hidup ini bagai dua sisi uang logam. Hitam dan putih, tangis dan
tawa, susah dan senang rasanya memang sudah semestinya ada. Sinar kebahagiaan
itu tak berlangsung lama. Alih-alih sembuh dan segera pulang. Hasil pemeriksaan
dokter yang pagi itu keluar menunjukkan bahwa Ayah mengalami pembengkakan
lambung, bahkan lambung sudah menempel pada paru-paru. Parahnya, jalan
satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya adalah dengan operasi. Jika tidak
maka lambungnya akan pecah dan otomatis semuanya berakhir. Tuhan kemanakah
Engkau ? tak melihatkah Kau bahwa aku disini membutuhkan pertolongan-Mu.
Bukankah Engkau Maha Pengasih dan Penyayang ? Tuhan dengar dan lihat aku
disini, Ayahku kesakitan Tuhan. Bukankah Engkau Maha Melihat dan Maha
Mendengar?. Tuhan dimananakah Dirimu ?
Senja yang elok, harusnya bisa
mengikis sakit yang kini kurasa. Yang harusnya mampu menepis gundah dan
khawatirku. Yang mungkin harusnya sanggup membuat Ibuku bahagia bila
melihatnya. Yang sesungguhnya bisa memberikan semangat Ayah dalam mengumpulkan
pundi-pundi rejeki untuk keluarga. Namun kali ini, senja itu mengolok-olok
diriku. Mengejekku tanpa perasaan, menertawakan hatiku yang tengah hancur, aku
benci senja itu !. seperti halnya aku benci keadaan ini, aku marah dengan semua
yang terjadi. Tuhan, kemanakah Dirimu ? bukankah Engkau pernah berjanji untuk
selalu melindungi Orang Tuaku ? bukankah Engkau pernah menenangkan gundahku
bahwa hidup susah adalah cobaan dan akan berubah menjadi sebuah kebahagiaan
jika aku ikhlas dan tawakkal ? lalu kini kemanakah Engkau Tuhan ? apakah Kau
tak menyayangiku ?.
Entah, tak pernah terfikir olehku
akan semua ini. Padahal diagnosa dokter kondisi Ayah parah. Namun ayah terlihat
biasa saja dan baik, mungkinkah ia pura-pura ? ataukah ia hanya mencoba biasa
saja ? pura-purakah dia ?, entahlah. Sore itu juga, Ayah sudah pulang ke rumah.
Aku yang masih 16 tahun memang terlihat tak tahu apa-apa. Namun sungguh aku
mengerti. Ada kalanya kita harus berkorban demi orang-orang yang kita sayang.
Seperti Ayah, pasti ia tak mau melakukan operasi karena kendala biaya.
Sebenarnya bisa saja operasi itu dilakukan, memang keluargku tak punya banyak
uang. Bahkan mungkin harus menjual gubuk reot kami, baru bisa mendapatkan uang
untuk biaya operasi yang tak sengaja aku dengar biayanya ditafsir hingga
puluhan juta rupiah. Namun Ibu memiliki saudara jauh yang bisa dibilang kaya
dan jika bersedia bisa meminjam uang. Sekali lagi, aku tahu bahwa Ayah tak mau
membebani kami. Ayah pasti tak mau kami berhutang hanya untuk kesembuhannya.
Ayah, perlu kau tahu. Kami rela, apapun akan kami lakukan demi Ayah. Bahkan
apakah Ayah tahu ? Milli sudah sempat meminjam uang kepada teman Milli, walau
Milli harus memenuhi persyaratannya dengan berpura-pura menjadi pacarnya.
Karena dengan seperti itu Orang Tuanya akan memberikan pinjaman. Walau aku
harus mengorbankan diriku, dan harus bersandiwara di depan orang kaya seperti
mereka, aku rela. Tuhan, tolong aku !
Detik bergulir cepat, waktu kian
meretas hingga beberapa hari berlalu begitu saja. Syukurlah Ayah baik-baik saja
semenjak keluar dari rumah sakit. Dengan berbekal pengobatan alternatif dan
tentunya tabung oksigen mini yang senantiasa disampingnya, Ayah mampu bertahan.
Ternyata Tuhan sudah kembali. Dia telah mendengarkan doa dan harapanku. Aku,
Ibu dan sanak saudara berbondong-bondong merawat Ayah. Tuhan, meski dalam
kondisi ekonomi yang kurang beruntung. Aku tak mau menyebut bahwa hidupku
miskin. Karena aku hanya kurang dalam hal ekonomi, namun kasih sayang keluarga
dan kebersamaan bersama mereka selalu ku rasakan. Terima kasih Ya Tuhan.
Tuhanlah yang menciptakan bumi dan
seisinya, termasuk kita, Manusia. Maka Tuhan juga berhak mengambilnya. Apapun,
bagaimanapun semua adalah milik-Nya dan akan kembali pada-Nya. Termasuk Ayah.
Awan gelap kembali muncul. Saat aku dijemput Paman dari sekolah sebelum
waktunya pulang. Biarpun Paman tak berkata bahwa alasan aku dijemput karena ada
sesuatu yang terjadi dengan Ayah. Namun sekali lagi, aku mengerti dan
merasakan. Ayahku pergi, untuk selamanya. Ayahku kembali pada pemiliknya, Tuhan
Yang Maha Esa. Ayahku meninggalkanku, meninggalkan Ibu dan semua yang
menyanyanginya. Ayahku telah tiada, ayahku tak sanggup bernafas. Tuhan telah
mengambilnya. Tuhan telah menjemput dan memanggilnya untuk segera pulang ke
Dzat yang telah menciptakannya.
Apakah aku menangis ? akankah aku
sedih ? dan apakah aku akan merasakan kehilangan ?. Tak butuh jawaban. Aku
seperti hilang, melayang jauh menerobos kenyataan. Musnah menuju ruang hampa
tak berpenghuni. Dada sesak tak sanggup bernafas. Semua pecah, semua hancur,
sehancur-hancurnya. Aku marah. Aku kesakitan. Sangat sakit hingga tiada kata
yang mampu menggambarkannya. Dia, Ayah tercinta. Orang tua bijak, sahabat
sejati, teman setia dan kekasihku yang paling sempurna telah menuju keabadian.
Usia muda tak menghalanginya tuk tetap pergi. Melenyapkan harap yang tengah
kurangkai, meremukkan asa yang ingin kugapai. Aku tak mampu lagi berteriak dan
marah. Bibir ini terlalu berat untuk berkata terlalu banyak. Hanya sanggup merintih
dan memohon.
“
Tuhan, kembalikan Ayahku ! ” . . .
Kupersembahkan untuk Ayah
Alm. Abdul Rahman
28 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar