Sabtu, 01 Februari 2014

TUHAN, KEMBALIKAN AYAHKU!



            Senja kian menutupi mentari yang mulai beranjak pergi. Perlahan namun pasti biasnya musnah, tertelan langit senja yang nampak kuning orange tak jelas. Terkadang sesuatu terlihat indah, namun nyatanya keindahan itu hanyalah topeng. Palsu dan penuh kepura-puraan, seperti hidup. Hidup bagai roda yang berputar, hidup itu siklus sebab akibat. Tak mudah untuk dijalani namun tak sulit apabila mau berusaha. Milli, sosok anak lucu yang hidup penuh sandiwara. Terlihat selalu tersenyum bahagia, ceria dan penuh canda tawa. Siapa sangka hidupnya penuh derita dan problema.

“ Milli, cepat mandi” suara Ibu membuyarkan lamunanku tentang mimpi-mimpi masa depan. Ibuku memang cerewet, namun lebih dari itu. Ibu wanita sempurna, penuh cinta dan kasih sayang. Perempuan hebat yang penuh semangat dalam menjalani setiap takdir Tuhan. “ Iya bu, sebentar lagi. Masih beres-beres buku”, ucapku sekenanya saja. Sore itu sangat melelahkan, berangkat pukul 7 pagi dan harus pulang pukul 4 sore. Setiap hari terus menerus seperti itu, sedikit membosankan memang. Namun harus tetap dijalankan rutinitas sehari-hari, sebagai langkah awal mewujudkan mimpi, semoga .
Detik serasa bergulir begitu cepat, sisa-sisa tetes hujan semalam masih terlihat. Embun pagi menyulap jalanan depan rumah yang hampa, terlihat begitu nyaman. Apalagi sang surya menyemburkan sinarnya yang elok nan hangat. “ Hooaammmmmm, ngantuk” celotehku tak karuan. Adzan Subuh berkumandang, menghentikan sejenak mimpi-mimpi yang tengah kurangkai. Entah mengapa, dalam lelap aku senantiasa membayangkan apapun yang ku ingin. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa mimpi hanyalah bunga tidur, tidak bagiku. Mimpi tak hanya sekedar bunga tidur, dalam kondisi tak sadar tentu mimpiku sangat sinkron dengan harap dan imajinasi. Tiap mimpiku, ku anggap sebagai penyemangat. Terutama akhir-akhir ini aku selalu bermimpi bertemu dengan Ayah. Sosok lelaki kharismatik yang sangat ku sayang. Ayahku, pemimpin keluarga yang sangat ku segani.
            Berawal sekitar tiga tahun yang lalu, aku sangat terkejut. Tak hanya aku, tetangga dan sanak-saudara pun sama. Ayah terlihat seperti biasanya, berangkat mengais rejeki untukku dan Ibu mulai pukul 05:30 hingga pukul 21:00 bahkan terkadang tengah malam baru pulang. Beberapa hari terakhir memang wajahnya tampak lusuh dan tak secerah biasanya, tapi Ayah tak pernah menunjukkan gelagat bahwa dirinya tengah sakit. Namun pagi itu, sedikit aneh memang. Tiba-tiba Ayah mengerang kesakitan, sangat sakit hingga tak mampu bangun dari tempat tidur, semua panik termasuk aku. Ibu memanggil bu Bidan untuk memeriksa Ayah, hasil pemeriksaannya sangat menyakitkan bagi keluargaku. Ternyata Ayah mengidap penyakit liver akut, yang kini sudah sangat parah. Air mataku mengalir deras, tak terbendung. Masih terngiang dalam ingatan, betapa kondisinya baik-baik saja, tapi kini dia terbaring lemah. Tanpa pikir panjang, keluarga berinisiatif untuk membawanya ke rumah sakit. Lagi-lagi aku menitikkan air mata, bukan karena penyakit Ayah namun perkataanya. Dalam kondisi seperti ini, dia masih memikirkan aku dan Ibu. Rasa tanggung jawab yang begitu besar tersemat dalam dirinya, dia tidak mau dibawa ke rumah sakit karena menurutnya uang untuk biaya pengobatan lebih baik untuk biaya makan dan sekolahku. Ya Tuhan, seketika tubuh ini lemas.
            Mobil yang membawa Ayah ke rumah sakit melaju, semakin hilang tak terlihat. Hatiku rasanya tak karuan, ingin rasanya diriku menemani sosok pemimpin yang paling ku sayang itu. Namun apalah daya, ada nenek dan kakek membutuhkanku di rumah. Selang beberapa jam, telepon genggamku berdering. Di layar tertera nomor Paman, hati semakin tak karuan. Takut, khawatir dan panik tentu saja. “Hallo assalamualaikum Paman, bagaimana kondisi Ayah ?” ucapku sedikit terbata-bata. Suara diseberang terdengar berat dan diiringi isak tangis, “Kamu minta anterin Kak Hindra ke rumah sakit ya, Ayahmu tak sadarkan diri, sekarang di ruang ICU”. Semakin berat saja kaki ini, aku terpukul mendengarnya, ya Tuhan selamatkan Ayahku.
            Sesampai di rumah sakit, dari balik kaca kamar dimana Ayah dirawat aku menatapnya lekat. Mata Ayah menutup, hanya ada banyak rangkaian selang-selang tertancap di tubuh tambunnya. Aku sendiri tak tahu, mengapa Ayahku seperti robot ? membutuhkan alat untuk berfungsi. “Lihat aku Ayah, Milli sayang Ayah. Ayah harus bangun, harus sembuh supaya kita bisa bertengkar lagi”, gumamku dalam hati. Aku lupa, dimana Ibu ? bagaimana keadaannya sekarang ? ya Tuhan. Mengapa semua ini bisa terjadi begitu cepat. Tuhan, kemanakah dirimu ? Ayah disini terkapar, tak mampu bergerak. Cobaan yang Engkau berikan terlalu berat untuk kupikul. Tuhan kemanakah dirimu ?
            Menerawang jauh tak terbatas, seketika senyum Ayah tersungging manis. Terkadang ia menyemburkan ejekan lucu pada Ibu, lalu Ibu pun membalasnya dengan pukulan yang penuh cinta, sungguh romantis. Ibuku memang tak begitu cantik, namun berkulit putih, memiliki kaki jenjang dan tinggi semampai layaknya model. Dengan tinggi sekitar 170 cm atau bahkan lebih, ia terlihat jauh lebih tinggi daripada Ayah. Mungkin postur sempurnanyalah yang mampu meluluhkan Ayah yang secara sepintas mirip penyanyi lawas Imam S. Arifin. Hihihi, aku terkekeh melihat wajah mereka berdua yang polos. Namun jauh di lubuk hati, aku akui bahwa jika dilihat dari segi fisik Ibu memang beruntung memiliki Ayah. Betapa tidak ? jika aku bukan anaknya dan seleraku para om-om tua mungkin sudah ku pacari Ayahku itu, hihihi.
            Hilang, lenyap, musnah seketika. Hentakan kaki yang terdengar begitu keras seperti suara kuda tengah bertanding. Seorang dokter dan tiga suster berlarian hingga membuyarkan anganku tentang betapa bahagianya keluargaku, tentunya sebelum cobaan ini diberikan Tuhan untukku. Aku tak peduli dengan keriuhan akibat ulah mereka. Namun setelah ku tengok mereka menuju ruangan Ayahku terbaring tak berdaya, ditambah lagi Ibu memberitahuku bahwa Ayah sudah siuman mau tak mau memaksaku bangkit dari tempat dudukku. Ya Tuhan, terima kasih. Engkau telah mendengarkan pintaku, Engkau Maha Mengetahui segalanya, maka aku mohon Tuhan sembuhkanlah Ayahku. Tanpa basa-basi aku bergegas bangkit dan berlari menuju ruangan Ayah. Hatiku bergetar hebat, sangat tak menentu ketika melihat senyum Ayah yang khas dengan kumis tebalnya yang sedikit terangkat. Tuhan terima kasih.
            Kebahagiaan yang begitu berharga adalah berkumpul bersama keluarga. Berkah dari Tuhan yang terbesar adalah kesehatan. Maka bersua dan bercengkrama dengan keluarga dalam kondisi sehat adalah anugerah terindah dari Tuhan. Lebih dari apapun, kebersamaan ini sangat meyenangkan. Beberapa hari yang lalu Ayah tak sadarkan diri, namun kini telah berangsur membaik. Tak pernah ketinggalan lelucon dan bau kentutnya yang lumayan busuk bahkan lebih busuk dari bangkai tikus kian menambah keriuhan. Suasana yang kemarin tegang, penuh tangis dan rintihan kini tergantikan dengan mimik cerah dan wajah penuh syukur. Ibuku dapat kembali tersenyum, walau gurat kekhawatiran masih terpancar dari wajah ayunya. Tuhan terima kasih.
            Jangan terlalu terlena dengan kebahagiaan. Hidup ini bagai dua sisi uang logam. Hitam dan putih, tangis dan tawa, susah dan senang rasanya memang sudah semestinya ada. Sinar kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Alih-alih sembuh dan segera pulang. Hasil pemeriksaan dokter yang pagi itu keluar menunjukkan bahwa Ayah mengalami pembengkakan lambung, bahkan lambung sudah menempel pada paru-paru. Parahnya, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya adalah dengan operasi. Jika tidak maka lambungnya akan pecah dan otomatis semuanya berakhir. Tuhan kemanakah Engkau ? tak melihatkah Kau bahwa aku disini membutuhkan pertolongan-Mu. Bukankah Engkau Maha Pengasih dan Penyayang ? Tuhan dengar dan lihat aku disini, Ayahku kesakitan Tuhan. Bukankah Engkau Maha Melihat dan Maha Mendengar?. Tuhan dimananakah Dirimu ?
            Senja yang elok, harusnya bisa mengikis sakit yang kini kurasa. Yang harusnya mampu menepis gundah dan khawatirku. Yang mungkin harusnya sanggup membuat Ibuku bahagia bila melihatnya. Yang sesungguhnya bisa memberikan semangat Ayah dalam mengumpulkan pundi-pundi rejeki untuk keluarga. Namun kali ini, senja itu mengolok-olok diriku. Mengejekku tanpa perasaan, menertawakan hatiku yang tengah hancur, aku benci senja itu !. seperti halnya aku benci keadaan ini, aku marah dengan semua yang terjadi. Tuhan, kemanakah Dirimu ? bukankah Engkau pernah berjanji untuk selalu melindungi Orang Tuaku ? bukankah Engkau pernah menenangkan gundahku bahwa hidup susah adalah cobaan dan akan berubah menjadi sebuah kebahagiaan jika aku ikhlas dan tawakkal ? lalu kini kemanakah Engkau Tuhan ? apakah Kau tak menyayangiku ?.
            Entah, tak pernah terfikir olehku akan semua ini. Padahal diagnosa dokter kondisi Ayah parah. Namun ayah terlihat biasa saja dan baik, mungkinkah ia pura-pura ? ataukah ia hanya mencoba biasa saja ? pura-purakah dia ?, entahlah. Sore itu juga, Ayah sudah pulang ke rumah. Aku yang masih 16 tahun memang terlihat tak tahu apa-apa. Namun sungguh aku mengerti. Ada kalanya kita harus berkorban demi orang-orang yang kita sayang. Seperti Ayah, pasti ia tak mau melakukan operasi karena kendala biaya. Sebenarnya bisa saja operasi itu dilakukan, memang keluargku tak punya banyak uang. Bahkan mungkin harus menjual gubuk reot kami, baru bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi yang tak sengaja aku dengar biayanya ditafsir hingga puluhan juta rupiah. Namun Ibu memiliki saudara jauh yang bisa dibilang kaya dan jika bersedia bisa meminjam uang. Sekali lagi, aku tahu bahwa Ayah tak mau membebani kami. Ayah pasti tak mau kami berhutang hanya untuk kesembuhannya. Ayah, perlu kau tahu. Kami rela, apapun akan kami lakukan demi Ayah. Bahkan apakah Ayah tahu ? Milli sudah sempat meminjam uang kepada teman Milli, walau Milli harus memenuhi persyaratannya dengan berpura-pura menjadi pacarnya. Karena dengan seperti itu Orang Tuanya akan memberikan pinjaman. Walau aku harus mengorbankan diriku, dan harus bersandiwara di depan orang kaya seperti mereka, aku rela. Tuhan, tolong aku !
            Detik bergulir cepat, waktu kian meretas hingga beberapa hari berlalu begitu saja. Syukurlah Ayah baik-baik saja semenjak keluar dari rumah sakit. Dengan berbekal pengobatan alternatif dan tentunya tabung oksigen mini yang senantiasa disampingnya, Ayah mampu bertahan. Ternyata Tuhan sudah kembali. Dia telah mendengarkan doa dan harapanku. Aku, Ibu dan sanak saudara berbondong-bondong merawat Ayah. Tuhan, meski dalam kondisi ekonomi yang kurang beruntung. Aku tak mau menyebut bahwa hidupku miskin. Karena aku hanya kurang dalam hal ekonomi, namun kasih sayang keluarga dan kebersamaan bersama mereka selalu ku rasakan. Terima kasih Ya Tuhan.
            Tuhanlah yang menciptakan bumi dan seisinya, termasuk kita, Manusia. Maka Tuhan juga berhak mengambilnya. Apapun, bagaimanapun semua adalah milik-Nya dan akan kembali pada-Nya. Termasuk Ayah. Awan gelap kembali muncul. Saat aku dijemput Paman dari sekolah sebelum waktunya pulang. Biarpun Paman tak berkata bahwa alasan aku dijemput karena ada sesuatu yang terjadi dengan Ayah. Namun sekali lagi, aku mengerti dan merasakan. Ayahku pergi, untuk selamanya. Ayahku kembali pada pemiliknya, Tuhan Yang Maha Esa. Ayahku meninggalkanku, meninggalkan Ibu dan semua yang menyanyanginya. Ayahku telah tiada, ayahku tak sanggup bernafas. Tuhan telah mengambilnya. Tuhan telah menjemput dan memanggilnya untuk segera pulang ke Dzat yang telah menciptakannya.
            Apakah aku menangis ? akankah aku sedih ? dan apakah aku akan merasakan kehilangan ?. Tak butuh jawaban. Aku seperti hilang, melayang jauh menerobos kenyataan. Musnah menuju ruang hampa tak berpenghuni. Dada sesak tak sanggup bernafas. Semua pecah, semua hancur, sehancur-hancurnya. Aku marah. Aku kesakitan. Sangat sakit hingga tiada kata yang mampu menggambarkannya. Dia, Ayah tercinta. Orang tua bijak, sahabat sejati, teman setia dan kekasihku yang paling sempurna telah menuju keabadian. Usia muda tak menghalanginya tuk tetap pergi. Melenyapkan harap yang tengah kurangkai, meremukkan asa yang ingin kugapai. Aku tak mampu lagi berteriak dan marah. Bibir ini terlalu berat untuk berkata terlalu banyak. Hanya sanggup merintih dan memohon.

“ Tuhan, kembalikan Ayahku ! ” . . .


Kupersembahkan untuk Ayah 
Alm. Abdul Rahman
28 April 2010




Tidak ada komentar:

Posting Komentar